Banjarmasin - Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Selatan (Kemenkumham Kalsel) Ferdinand Siagian, mengatakan Peraturan Presiden (PP) Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, merupakan regulasi untuk melakukan pencucian uang hasil korupsi.
"Sejumlah besar kasus pencucian uang, seperti Panama dan Skandal Bank Century, menunjukan bahwa korporasi rawan disalah gunakan untuk pencucian uang. Namun, resiko ini dapat dikurangi secara signifikan jika informasi mengenai legal owner dan Beneficial Ownership, sumber aset, serta aktifitas corporate vehicle tersedia bagi pihak berwenang," kata Ferdinand, Jumat (31/8/2018)
Dia menjelaskan informasi legal ownership dan BO dapat membantu Penegak Hukum dan otoritas berwenang lainnya mengidentifikasi orang-orang yang bertanggung jawab atas aktivitas korporasi. Informasi tersebut juga memungkinkan pihak berwenang untuk mengikuti aliran uang (follow the money) dalam penyelidikan keuangan yang melibatkan rekening atau aset tersangka yang mengunakan corporate vehicle.
Dalam perkembangannya, kata dia, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas batas yuridiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga diluar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. "Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah menggunakan standar internasioanl yang menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan 40 Recommendation," ujarnya.
Ferdinand mengungkapkan salah satu rekomendasi dari FATF adalah rekomendasi 24, yaitu Transparansi dan Penerima Manfaat dari Badan Usaha, bahwa Negara harus memiliki mekanisme yang dapat mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan macam bentuk dan ciri dasar sebuah badan usaha di negaranya.
"Proses untuk menciptakan badan usaha dan untuk mendapatkan serta rekaman dasar dan informasi penerima manfaat. Informasi ini harus tersedia untuk umum. Negara harus menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk memastikan bahwa informasi penerima manfaat suatu perusahaan diperoleh dari perusahaan tersebut dan tersedia di suatu tempat tertentu di negara mereka. Negara harus memastikan bahwa informasi penerima manfaat adalah akurat dan up to date," ungkapnya.
Dia menjelaskan Indonesia sendiri sudah merespon rekomendasi FATF dengan menerbitkan PP nomor 13 tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari korporasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. PP tersebut muncul dengan mepertimbangkan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonimian dan sistem keuangan, serta membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahwa korporasi dapat dijadikan sarana baik lamgsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
"Selama ini blum ada pengaturannya sehingga perlu mengatur penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi," tuturnya. Lebih jauh, Ferdinand menyampaikan berdasarkan hal-hal tersebut maka sangat penting kegiatan sosialisasi PP nomor 13 tahun 2018 untuk mendorong korporasi menyampaikan informasi pemilik manfaat melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi agar korporasi tidak dapat dijadikan kendaraan pencucian uang.