Diterbitkan Tanggal: 10-Jul-2019

oleh Admin Humas

Ditjen AHU Terus Lakukan Pengembangan Hukum Perdata Internasional

Ditjen AHU Terus Lakukan Pengembangan Hukum Perdata Internasional

BANDA ACEH – Sebagai daerah otonomi khusus di Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diberikan kewenangan pemerintah pusat untuk menerapkan Hukum Syariah atau Peraturan Daerah (Perda) Syariah.

BANDA ACEH – Sebagai daerah otonomi khusus di Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diberikan kewenangan pemerintah pusat untuk menerapkan Hukum Syariah atau Peraturan Daerah (Perda) Syariah.

 

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan supervise dengan praktik dan pengembangan hukum perdata internasional yang beririsan dengan Perda Syariah.

 

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham NAD, Agus Thoyib mengatakan penduduk Aceh yang mayoritas 90 persen beragama Islam ketika berhadapan dengan masalah keperdataan yang bersifat lintas batas atau berdimensi transnasional, tidak bisa dihindari pastinya dapat ditemui permasalahan perdata internasional yang beririsan dengan keberlakuan hukum Islam.

 

“Pemilihan wilayah Aceh yang saat ini memberlakukan Qanun (Perda Syariah) dalam setiap aspek hukum masyarakatnya merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan kajian khususnya kajian hukum perdata internasional,” kata Agus, Selasa (9/7/2019).

 

Dia menjelaskan jumlah penduduk asing di Aceh yang semakin meningkat, perkawinan dengan WNA yang cukup banyak, investasi dibidang pariwisata dikuasasi oleh WNA yang menikah dengan wanita Aceh dan meningkatnya arus pergerakan manusia dari Aceh ke Kuala Lumpur, menunjukkan bahwa Aceh tidak dapat mengabaikan agar hukum perdata internasional menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap penyusunan rancangan Qanun di Aceh terkait hubungan perdata.

 

Sementara itu, pakar di hukum Islam dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah menuturkan isu perkawinan yang melibatkan WNI dan WNA perlu diatur dalam Rancangan Qanun Hukum Keluarga, khususnya untuk melindungi kepentingan  perempuan Aceh dan anak hasil perkawinan campur. 

 

“Jika terjadi putusnya perkawinan, permasalahan wasiat bagi anak angkat, anak luar kawin dan anak sah, permasalan pewarisan menurut hukum Islam dan permasalahan perikatan yang timbul selama masa perkawinan,” ujarnya.

 

Secara garis besar Rancangan Qanun tentang Hukum Keluarga ini disambut baik oleh narasumber dan peserta diskusi. Forum juga berharap Qanun ini dapat lebih baik daripada Kompilasi Hukum Islam dan dapat menjadi salah satu rujukan bagi kajian penyempurnaan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional.