BANDUNG - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) selaku Otoritas Pusat yang mempunyai tugas dan fungsi memfasilitasi dan melakukan fungsi koordinasi dalam kerangka kerjasama dalam pelaksanaan Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), terus melakukan pembahasan tentang Draft Perjanjian MLA sebagai salah satu kerangka hukum dalam Kerjasama penegakan hukum lintas batas negara.
BANDUNG - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) selaku Otoritas Pusat yang mempunyai tugas dan fungsi memfasilitasi dan melakukan fungsi koordinasi dalam kerangka kerjasama dalam pelaksanaan Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), terus melakukan pembahasan tentang Draft Perjanjian MLA sebagai salah satu kerangka hukum dalam Kerjasama penegakan hukum lintas batas negara.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Ditjen AHU berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait seperti Kemlu, Polri, Kejaksaan, KPK, dan PPATK untuk merancang regulasi penanganan tindak pidana kejahatan transnasional tersebut.
"Diperlukan kerjasama antar kementerian dan lembaga serta payung hukum yang pasti untuk digunakan oleh penegak hukum dalam upaya pencegahan dan penanganan kejahatan transnasional", kata Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI), Tudiono, saat Rapat Konsinyasi dalam Rangka Koordinasi Lanjutan Pembahasan Draft Perjanjian MLA RI-Serbia dan Sinkronisasi Data serta Tindak Lanjut Permintaan MLA
di Bandung, Jumat (25/09/20).
Rapat konsinyasi ini juga dilaksanakan dalam rangka sinkronisasi data terkait jumlah dan status terkini dari permintaan MLA incoming maupun outgoing dimana Polri sebagai competent authority dan Kementerian Luar Negeri selaku saluran diplomatic dalam mendukung persiapan Mutual Evaluation Review (MER) FATF di bidang penanganan MLA.
Dia menambahkan, dalam banyak kasus, terdapat aset-aset hasil tindak pidana, yang sulit dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri oleh para pelaku kejahatan transnasional melalui mekanisme tindak pidana pencucian uang dengan maksud untuk menghilangkan jejak. Hal ini mengakibatkan upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Dia mengatakan, penanganan permintaan MLA saat ini terdapat sejumlah kasus yang perlu segera ditindaklanjuti. Diantaranya terkait dengan Tindak Pidana Penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
" Inilah perlunya kerjasama semua pihak, agar dapat saling membantu penyelesaian kasus tersebut" tambahnya.
Lebih lanjut disampaikan Tudiono, dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional, salah satunya dengan memanfaatkan mekanisme bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana, dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset.
" Kita perlu masukan- masukan dari Kementerian/Lembaga mengenai pasal-pasal terkait perampasan aset pada draft perjanjian MLA RI-Serbia guna mendukung proses tersebut" tutupnya.