Jakarta – Direktur Jenderal Administrasi Hukum Hukum (Dirjen AHU), Cahyo R. Muzhar, yang mewakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, mengatakatan saat ini Indonesia sudah berstatus sebagai Observer dan tinggal selangkah lagi untuk menjadi anggota FATF. Untuk dapat menjadi anggota, Indonesia harus mendapatkan penilaian Largely Compliant (LC) pada setidaknya 33 rekomendasi dari 40 rekomendasi yang ada. Salah satunya rekomendasi yang belum mendapatkan penilaian LC adalah Rekomendasi 24, terkait Transparency and Beneficial Ownership (BO) of Legal Persons.
Jakarta – Direktur Jenderal Administrasi Hukum Hukum (Dirjen AHU), Cahyo R. Muzhar, yang mewakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, mengatakatan saat ini Indonesia sudah berstatus sebagai Observer dan tinggal selangkah lagi untuk menjadi anggota FATF. Untuk dapat menjadi anggota, Indonesia harus mendapatkan penilaian Largely Compliant (LC) pada setidaknya 33 rekomendasi dari 40 rekomendasi yang ada. Salah satunya rekomendasi yang belum mendapatkan penilaian LC adalah Rekomendasi 24, terkait Transparency and Beneficial Ownership (BO) of Legal Persons.
“Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,” kata Cahyo saat mengikuti secara virtual Webinar Aksi Pemanfaatan Data Beneficial Ownership (BO) Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) (16/09/21).
Ungkapnya, pada pelaporan BO melalui sistem AHU Online, dari 2.196.030 korporasi baru 469.247 korporasi yang telah mengisi data BO. Jika dipersentasikan korporasi yang sudah mengisi data BO sebanyak 21,44% Per 1 september 2021.
“Untuk itu dalam meningkatkan pelaporan BO sesuai dengan Perpres No. 13 Tahun 2018, Kemenkumham telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 5 (lima) kementerian yang memiliki data BO di antarannya Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” tambahnya.
Disamping itu, Menteri PPN/Bappenas, Dr. (H.C.) H. Suharso Monoarfa, mengatakan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi menjadi komitmen global agar tercipta iklim usaha yang transparan dan aman serta kondusif.
“Transparsi terhadap BO ini sangat penting untuk mengetahui data yang pasti agar dapat meminimalisir adanya korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan pendanaan terorisme,” kata Menteri Suharso.
Tambahnya, diharapkan kebijakan yang menjadi prioritas nasional dan menjadi aksi pada stranas melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).
Kegiatan ini juga menghadirkan tiga narasumber lainnya yakni Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas, Ir. Slamet Soedarson; Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal, Achmad Idrus; Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Arsjad Rasjid; serta Akademisi dan peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute yang bergerak di bidang studi tren dan perkembangan sosial-politik, kemananan, dan ekonomi di Asia Tenggara, Yanuar Nugroho.