Pakar komunikasi sekaliber Berlo, telah mengingatkan bahwa setidak nya akan ada 4 sub-sistem yang membangun terjadi nya sebuah proses komunikasi. Pertama adalah “source” atau sumber komunikasi. Source inilah yang memiliki peran sentral dalam menyampaikan berita/informasi yang akan disampaikan. Dalam kaitan nya dengan sistem Pemerintahan, khusus nya Pemerintah Provinsi Jawa Barat, source menjadi faktor penentu guna mengkomunikasikan hasil-hasil pembangunan kepada masyarakat. Secara lebih nyata, keberadaan “Humas” dalam bingkai Pemerintahan, tentu saja telah dititipi amanah untuk mampu menjadikan diri nya sebagai “kawah candradimuka” pengolahan berita atau informasi yang akan dibewarakan kepada publik. Humas, tentu harus dapat menyajikan dan menghasilkan bahan-bahan komunikasi yang kondusif dan akurat, sehingga mampu mempercepat tercapai nya cita-cita pembangunan.
Namun begitu, penting juga dipahami bahwa pengolahan dan pengelolaan berita tersebut, tetap harus berbasis pada nilai-nilai obyektivitas dengan prinsip menjunjung tinggi makna “bebas nilai” sebagaimana lazim nya sebuah berita disuguhkan.
Di sisi yang lain, sejati nya posisioning Humas juga akan dicirikan oleh kemampuan diri nya dalam memberi pencerahan kepada publik atas jalan nya sebuah proses pembangunan. Humas tidak boleh menyajikan berita atau informasi kepada publik yang sifat nya memanipulasi fakta kehidupan. Humas, sangat tidak diharapkan merekayasa kasus-kasus pelaksanaan pembangunan. Dengan kepiawaian para pengelola nya, Humas diharapkan mampu menjadi penyampai berita atau informasi yang senantiasa mengusung nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keberkahan bagi kelangsungan pembangunan. Untuk itu, agar pandangan Berlo terhadap makna “source” ini, benar-benar mengena pada substansi yang sesungguh nya, maka menjadi kewajiban kita bersama, untuk menjaga dan memelihara keajegan lembaga, yang memang memikul amanah guna memproduksi berita atau informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat.
Kedua adalah “massage” atau pesan yang akan disampaikan kepada publik. Materi dari pesan yang bakal disampaikan, sudah barang tentu bukan hanya sekedar berita atau informasi yang apa ada nya. Apalagi kalau hanya sekedar membuat senang para penguasa. Pesan tersebut, mesti nya berbasis pada fakta-fakta kehidupan yang dialami oleh masyarakat. Penyusunan pesan penting dikemas secara proporsional dan profesional olah orang-orang yang memang memiliki kepakaran tertentu . Pesan yang akan disajikan, tentu harus memiliki nilai tambah bagi perjalanan pembangunan yang sedang dilakoni. Pesan mesti dapat mengajak kepada mereka yang mendengar, membaca atau menonton nya, guna melahirkan sebuah perubahan. Sebut saja pesan tentang “perang melawan kemiskinan”. Pesan semacam ini, sangat diharapkan akan mampu merubah perilaku miskin untuk berganti menjadi perilaku tidak miskin. Atau pesan tentang “pemberantasan korupsi”. Melalui pesan ini diharapkan agar para penggiat korupsi mampu menghentikan perilaku buruk nya, untuk merubah nya menjadi pegawai yang dalam nurani nya terpatri semangat untuk “bebas korupsi”. Dengan kata lain, peran dan kedudukan pesan dalam sebuah proses komunikasi akan menjadi kata kunci sampai sejauh mana nilai yang ingin dibewarakan kepada publik itu mencapai sasaran nya.
Ketiga adalah “channel” atau media yang digunakan. Dalam perkembangan dunia komunikasi, yang nama nya komunikasi tatap muka (face to face) memang tetap diperlukan. Ini penting dicatat, khusus nya kalau ada hal-hal yang sangat serius dan membutuhkan sebuah komitmen yang terkait dengan kebijakan yang akan diambil oleh elite kekuasaan. Namun begitu untuk hal-hal yang lebih umum, seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, ternyata media komunikasi massa (cetak, elektronik, audio visual) yang sifat nya lebih banyak berhubungan dengan publik, rupa nya dinilai lebih memberi manfaat ketimbang hanya menempuh nya dengan komunikasi tatap muka. Itu sebab nya dalam “mengelola” sebuah proses komunikasi, kehadiran “channel” mesti benar-benar dioptimalkan keberadaan nya. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangan nya, kita diminta untuk mampu memilih dan memilah “channel” mana yang akan dijadikan alat bantu mengkomunikasikan berita atau informasi kepada masyarakat. Makna efektivitas dan efesiensi, tentu perlu dijadikan bahan pertimbangan. Mana yang dapat dan pantas dibewarakan melalui media elektronik dan mana yang cukup dengan hanya memanfaatkan komunikasi tatap muka. Hanya saja, penting juga dicermati bahwa setiap “channel” tentu akan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing jika hal ini akan dijadikan alat bantu dalam membangun sebuah proses komunikasi.
Keempat adalah “receiver” atau penerima. Erat kaitan nya dengan peran Humas dalam mengkomunikasikan hasil-hasil pembangunan kepada masyarakat, tentu nya posisioning penerima pesan menjadi sangat penting. Kita harus benar-benar memahami dan mengenali apa sebetul nya yang menjadi dambaan masyarakat. Kita harus mengerti benar apa sesungguh nya yang selama ini menjadi keluh kesah rakyat dalam mengarungi pembangunan selama ini. Dan tentu saja kita pun perlu untuk menangkap dengan cerdas apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Sebagai penerima pesan, masyarakat pasti akan mempersepsikan pesan itu sebagai sebuah ajakan untuk melakukan perubahan. Sinyal yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, sewajar nya mampu ditangkap untuk kemudian dijadikan bahan pencermatan dalam melahirkan sebuah kemasan pesan. Masyarakat sebagai “receiver”, tentu memiliki ciri dan karakter. Mereka juga memiliki harapan dan cita-cita. Lebih jauh dari itu, “suasana kebatinan” yang selama ini tumbuh dan terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sudah seharus nya dijadikan bahan pertimbangan dalam perumusan muatan pesan yang bakal disampaikan. Oleh sebab itu, yang disebut dengan aspirasi penerima pesan, sangatlah perlu untuk dijadikan bahan telaahan, terutama mereka yang diberi amanah untuk melakoni nya.
Teori Berlo yang dikenal dengan model S-M-C-R ini, tentu saja penting ditinjau secara sistemik dan utuh. Untuk tercipta nya sebuah proses komunikasi yang memenuhi standar kualitas, sangatlah penting adanya rajutan yang holistik diantara sub-sistem model yang ditawarkan Berlo diatas. Keterkaitan antara S, M, C dan R, bukan hanya tersirat sebagai wacana, namun yang lebih pokok lagi adalah bagaimana dalam pelaksanaan nya di lapangan. Disini, makna komunikasi, tentu tidak hanya dipandang dari sebuah proses inter-aksi, tapi sampai sejauh mana kita mampu menginisiasi nya lewat sebuah pemahaman filosofis yang dapat menyelami nurani masyarakat. Tentu proses komunikasi yang ingin kita bangun ini, bukan sekedar hanya berbagi pikir dan bersambung rasa semata, namun dibalik itu ada nilai-nilai esensial lain yang ingin diwujudkan. Salah satu nya adalah bagaimana agar proses komunikasi yang selama ini dinakhkodai oleh Humas ini, mampu pula dirumuskan sedemikian rupa, sehingga benar-benar dapat membawa sebuah perubahan ke kondisi yang lebih mendukung terinformasikan nya hasil-hasil pembangunan secara lebih nyata lagi.
Kesan bahwa Humas dalam bingkai birokrasi Pemerintahan tak ubah nya ibarat “corong pembangunan”, kelihatan nya penting untuk dijadikan bahan pencermatan kita bersama. Sesuai tupoksi, salah satu tugas Humas, memang harus dapat melaksanakan “pemasyarakatan” hasil-hasil pembangunan yang dijalankan oleh sebuah Pemerintahan. Walau pun fenomena yang mengemuka selama ini dan seolah-olah menyiratkan bahwa Humas adalah “kepunyaan” Pemerintah, bukan berarti berita atau informasi yang akan disampaikan ke publik harus selalu satu nafas dengan keinginan Pemerintah, tapi yang perlu dijadikan komitmen dan sikap yang sebaik nya ditempuh adalah sampai sejauh mana kita dapat merumuskan muatan-muatan berita atau informasi itu sesuai dengan kondisi obyektif yang sesungguh nya. Humas harus berani keluar dari jebakan perekayasaan sebuah berita atau informasi. Humas perlu melakukan terobosan-terobosan baru yang cerdas. Bahkan jika selama ini ada hal-hal yang perlu dibenahi dan dirancang-bangun, sangat memungkinkan dalam aura reformasi sekarang, kita melakukan revitalisasi kehumasan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program reforma birokrasi.
Tidak terlampau keliru jika ada pandangan yang menyatakan bahwa Humas identik dengan “corong pembangunan”. Pengalaman memperlihatkan, berita-berita yang dirumuskan Humas, pasti akan menyampaikan kisah sukses dan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh setiap Organisasi Perangkat Daerah nya. Sebagai alat kelengkapan kelembagaan Pemerintah, Humas tetap dituntut untuk dapat membewarakan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan. Hal ini lumrah terjadi, karena keberadaan Humas dalam birokrasi Pemerintahan memang dirancang seperti itu. Humas, kelihatan nya tidak ingin hanya memainkan peran sebagai kepanjangan tangan Pemerintah dan menutup mata dengan masalah-masalah nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Dihadapkan pada hal yang demikian, Pemerintah, mesti nya mampu melahirkan lembaran baru dalam memasyarakatkan informasi atau berita yang lebih menyatu dengan fakta-fakta kehidupan. Jika hal ini tidak dilakukan perbaikan, dikhawatirkan terjadi kebohongan publik, yang dalam waktu belakangan ini muncul menjadi kritikan keras terhadap Pemerintah.
Akhir nya kita berharap agar Pemerintah, bukan lah hanya ornamen yang berperan sebagai “corong pembangunan”, khusus nya dalam membewarakan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat. Namun sebagai bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi pemerintahan, para pihak terkait mesti dapat mengambil posisi dan peran yang lebih besar dan luas dalam menginformasikan hasil-hasil pembangunan kepada publik. Berita atau informasi yang dirumuskan Humas Pemprov Jabar mestilah mampu melakukan pencerahan kepada publik. Arti nya, warga bangsa perlu disuguhkan informasi-informasi yang sarat dengan nuansa pendidikan sekaligus juga sebagai arena untuk membangun sebuah proses pendidikan kepada rakyat. Disini penting dilakukan pengemasan yang apik, sehingga setiap berita atau bahan-bahan yang dikeluarkan Pemerintah, pada akhirnya menjadi informasi yang dinantikan oleh masyarakat. Ke arah sanalah kita mesti menuju !